Belum Ada Kesimpulan sebagai Obat Covid, E-Commerce Sepakat Tak Jual Invermectine

MUS • Thursday, 8 Jul 2021 - 11:18 WIB

Jakarta - Kementerian Perdagangan secara resmi meminta e-commerce atau toko online untuk tidak lagi melakukan penjualan obat Ivermectine secara bebas. Hal itu menyusul kontroversi terkait obat cacing tersebut yang memicu lonjakan harga hingga 1.000 persen lebih.  

Keputusan tersebut dilansir Direktur Pemberdayaan Konsumen, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Ojak Simon Manurung lewat Nota Dinas nomor: 178/PKTN.2/ND/07/2021 tertanggal 2 Juli 2021 perihal Hasil Rapat Koordinasi Penjualan Obat Ivermectin melalui E-commerce.  

Ojak Simon Manurung mengatakan, dalam rapat yang digelar pihaknya bersama Asosiasi e-commerce Indonesia (IdEA) dan Halodoc, pihaknya meminta secara eksplisit agar dilakukan 'Takedown Merchant' penjualan obat Ivermectin via e-commerce. "Karena belum ada kesimpulan medis dari BPOM sebagai obat Covid-19 serta harganya kini melonjak hingga 1.000 persen lebih," kata Ojak dalam keterangan resmi, Kamis (8/7/2021). 

Kebijakan tak lagi menjual Invermectin akan berjalan sambil menunggu keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam hal penetapan kebijakan atas peredaran obat Ivermectine dan kebijakan Kementerian Kesehatan terkait Pengawasan HET (harga eceran tertinggi) obat tersebut.  

Dalam rapat pihak IdEA dan halodoc juga sepakat mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan pemantauan terhadap penjualan barang-barang secara online, agar tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sekaligus melindungi konsumen. 

"Rapat juga menegaskan Ivermectine adalah salah satu jenis obat keras yang penjualannya memerlukan resep dokter dan tidak boleh dijual secara bebas baik secara offline maupun online," katanya. Saat ini, di pasaran terdapat dua jenis obat Ivermectine, yang pertama untuk manusia dan kedua untuk hewan. Berdasarkan keterangan BPOM, penggunaan Ivermectin pada manusia hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh cacing. 

"Sedangkan terkait isu yang beredar saat ini belum dapat disimpulkan secara medis bahwa obat tersebut berkhasiat menyembuhkan penderita Covid-19," ujarnya.  Ojak menuturkan, idEA telah meminta seluruh toko online yang menjual obat Ivermectin untuk sementara tidak lagi menjual obat-obatan tersebut sampai dengan adanya kebijakan lebih lanjut dari pemerintah, khususnya BPOM sebagai otoritas yang berwenang. 

Sambil menunggu surat dari Kementerian Perdagangan yang saat ini sedang disiapkan oleh Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa sebagai dasar kebijakan penghentian penjualan ivermectin melalui online, idEA juga akan terus melakukan pemantauan terhadap seluruh pelaku usaha online agar tidak lagi menjual Ivermectin baik untuk manusia maupun hewan. 

Diketahui, Ivermectine terklasifikasi sebagai obat keras yang harus disertai dengan resep dokter. Artinya, tidak dapat dijual bebas kepada konsumen tanpa resep dokter. Sebelumnya, penjualan obat Ivermectine melalui pasar online/marketplace melonjak di atas 1.000 persen. 

Obat yang tadinya hanya sekitar Rp30.000/papan sekarang berada pada kisaran antara Rp350.000 - Rp500.000/papan.  Diketahui, obat cacing Invermectine memicu kontroversi di masyarakat. Sebagian pihak menganggap bahwa obat tersebut memang terbukti mampu mengurangi risiko kematian akibat Covid-19, namun tidak sedikit juga yang memiliki argumen yang kontra dengan anggapan tersebut.