Citra Buruk dan Rasisme pada Debt Collector, Ketua YLKI : Harus Diubah!

MUS • Wednesday, 28 Jul 2021 - 18:26 WIB

Jakarta – Debt collector atau disebut juga sebagai jasa penagih utang, identik dengan kekerasan dan premanisme. Citra buruk ini membuat konsumen takut apabila rumahnya dikunjungi debt collector. Seolah-olah tindakan seperti pemukulan, perampasan dan penganiayaan pasti akan dilakukan oleh sang penagih hutang. 

“Di negara kita debt collector seolah identik dengan kekerasan, saya rasa ini yang harus dievaluasi. Di lapangan kebanyakan debt collector identik dengan salah satu ras atau golongan tertentu, saya kira ini sudah keliru, sudah masuk rasis itu. Pekerjaan mereka padahal sudah tersertifikasi,” kata Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia, dalam Trijaya Hot Topic Pagi, Rabu (28/07/2021).

Akibat citra buruk yang melekat pada debt collector, konsumen lantas mencari perlindungan dari lingkungan sekitar. Hal itu menyebabkan debt collector seringkali mengalami kekerasan atau amukan massa.

“Sudah lama memang ini jadi permasalahan di negara kita. Fenomena ini berawal dari citra buruk debt collector. Selain itu dari kedua belah pihak selalu mau menang sendiri. Terkadang debt collector menagih tidak sesuai prosedur dan konsumen kurang sadar atas kewajibannya dan pemahaman tentang kredit,” ujar Tulus. 

Untuk memperbaiki citra, Tulus menyarankan para debt collector dan perusahaan jasa penagih untuk melengkapi surat-surat dan mempertegas prosedur penagihan di lapangan.

“Diubah citranya, misalkan debt collector pakai jas dan dasi serta jangan condong pada salah satu rasa atau golongan tertentu. Debt collector kalau bertindak harus sesuai prosedur, membawa surat-surat dan sebagainya. Tidak boleh juga debt collector menyita kendaraan di tengah jalan. Saya rasa kalau seperti itu tidak ada kekerasan pada mereka,” saran Tulus. (Ann)