Finalisasi Buku Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila

ANP • Wednesday, 28 Jul 2021 - 23:42 WIB

JAKARTA – dalam rangka finalisasi buku dengan judul: “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila” digelar Focus Grup Diskusi (FGD). Acara ini dirancang, selain untuk mendiseminasikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam “uji sahih atau uji publik” agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.

"Perlu saya sampaikan bahwa buku ini merupakan rangkuman dari berbagai pemikiran dan gagasan yang berkembang selama pelaksanaan Diskusi Serial selama dua tahun sejak 20 Maret 2019 yang diselenggarakan bersama oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Harian Kompas. Selain itu, buku ini juga diperkaya dengan hasil-hasil studi literatur, maupun kegiatan diskusi lainnya,"  tegas Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, pada Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka finalisasi buku, Rabu (28/7/2021).

Menurutnya, Target utama dari penyelenggaraan Diskusi Serial selama dua tahun tersebut dan disusunnya buku ini adalah menawarkan pendekatan baru dalam membangun kebangsaan yang berperadaban melalui “jalan kebudayaan (cultural way)” dalam tiga ranah utama kehidupan sosial, yaitu: ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional political (tata kelola), dan ranah material teknologikal (tata sejahtera) berdasarkan paradigma Pancasila. Pendekatan dan paradigma ini, akan terus disosialisasikan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama mitra lembaga penyelenggara kegiatan ini, sebagai tolok ukur paradigmatik dalam mengembangkan dan menguji pembangunan nasional kita.

"Dalam FGD hari ini, kita akan mendalami dan mengkritisi draft buku ini khusus pada bagian “Ranah Mental Spiritual”, yang diyakini menjadi faktor penentu keberhasilan (determinant factor) bagi kemajuan sebuah bangsa. Hal ini juga telah disadari oleh Presiden kita yang pertama Bung Karno sehingga bertekad menjadikan pembangunan karakter bangsa (character building) sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Bung Karno menyebutnya dengan Nation and Character Building," katanya.

Pontjo menjelaskan, begitu pentingnya pembangunan ranah mental spiritual (karakter) bagi suatu bangsa maka banyak kalangan melakukan studi mencari hubungan “mental spiritual/karakter” dan “pembangunan/kemajuan” sebuah bangsa. Salah satu penganjur utamanya di Indonesia adalah Prof. Koentjaraningrat yang menautkan antara mentalitas dan pembangunan.

"Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah modal budaya pada aspek mental spiritual yang dimiliki bangsa ini sudah menjadi “determinant factor” bagi kemajuan bangsa Indonesia? Banyak pihak justru khawatir bahwa bangsa ini sedang mengalami perapuhan nilai-nilai kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai sampai saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat hanya karena perbedaan aspirasi politik. Saat ini, ketika kita menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian," katanya.

Ia menilai, terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan, seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik kita yang justru menjadi faktor pemecah belah ketika mereka menggunakan sentimen primordial seperti sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dalam Pilpres dan Pilkada. Politisasi sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat terbelahnya kelompok masyarakat yang sangat tajam sehingga pada eskalasi tertentu berpotensi mengancam ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an yang sudah di sepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia.

"Akibat terjadinya perapuhan nilai-nilai kebangsaan kita, Yudi Latif dalam tulisannya di Kompas pada tanggal 11 Oktober 2018 yang lalu pernah mengilustrasikan bahwa bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi (liquefaction) atau sirna ilang kertaning bumi," ujarnya.

Ketua Aliansi Kebangsaan tersebut menilai, upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia, tentu harus selalu diupayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi “common domain” yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk. Menurut Christine Drake dalam bukunya: “National Integration in Indonesia (1989)” ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa Indonesia, antara lain: (1) kesamaan sejarah; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) saling ketergantungan antar daerah, (4) kehendak untuk hidup bersama,

"Selain faktor-faktor tersebut, menurut hemat saya, ada satu faktor penting yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai “shared values” yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya “common domain” ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Oleh karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau “kerangka operasional” dalam membangun kebangsaan Indonesia," tambahnya.

Menurutnya, untuk membangun Ranah Mental Spiritual terutama merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia ini, memerlukan keandalan rejim pendidikan dan pengetahuan sebagai agensi utamanya. Oleh karena itu, pihaknya masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu: keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal.

"Tentu menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sistem pendidikan nasional kita saat ini sudah mampu berperan sebagai “agen transpormasi sosial” dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Hal inilah yang dikritisi dalam buku ini karena kita menyadari bahwa pendidikan yang ‘tidak-tepat’, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa," kata Pontjo.

Ketepatan suatu sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, antara lain adalah menyangkut substansi pembelajaran. Begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, maka buku ini keluar dengan rekomendasi terkait muatan pendidikan nasional yaitu: “Kebangsaan, Etika, dan Logika” yang kita sebut “Tri Matra”. Muatan pendidikan ini juga pernah diusulkan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama YSNB, PPAD, FKPPI, NU-Circle, dan mitra strategis lainnya melalui Naskah Akademik sebagai masukan dalam pembahasan RUU Sisdiknas yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas di DPR.

FGD kali ini dirancang, selain untuk mendiseminasikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam “uji sahih atau uji publik” agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis. Hadir sejumlah pakar untuk membedah buku antara lain Prof Bambang Wibawarta, Guru Besar UI, Yudi Latief, Pakar Aliansi Kebangsaan, Prof Komaruddin Hidayat, Rektor UIII, dan Wisnubroto, MM, penulis buku. (ANP)