PKS: Pemerintah Kurang Menghargai Kemampuan Ahli Vaksin Indonesia 

MUS • Tuesday, 3 Aug 2021 - 10:34 WIB
Carina Citra Dewi Joe, salah satu pemegang hak paten vaksina astrazeneca

Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyayangkan sikap Pemerintah yang terkesan kurang mendukung kemampuan ahli vaksin Indonesia. 

Menurut Mulyanto, Indonesia punya banyak tenaga ahli di berbagai bidang, termasuk di bidang vaksin. Namun sayangnya keberadaan para ahli ini tidak dihargai. Sehingga wajar kalau beberapa di antaranya memilih berkarir di luar negeri. 

"Orang Indonesia itu pinter-pinter. Jadi tidak benar stigma yang mengatakan kita ini bangsa kuli, bangsa tempe. Nyatanya kita punya Begawan Teknologi Prof. Dr. BJ. Habibie. Bahkan kita mampu menerbangkan pesawat N-250 si Gatot Kaca yang berteknologi canggih," ujar Mulyanto. 

Mulyanto menambahkan belum lama ini heboh diberitakan soal Indra Rudiansyah, peneliti Indonesia yang terlibat dalam penelitian vaksin AstraZeneca. Padahal selain Indra Rudiansyah, ada peneliti perempuan Indonesia yang turut tergabung dalam tim Jenner Institute yang mengembangkan vaksin AstraZeneca, yakni Carina Citra Dewi Joe.

Berbeda dengan Rudiansyah, yang masih merampungkan Ph.D-nya, Carina mendapat beasiswa di Oxford University hingga selesai mendapat gelar Ph.D.

Carina bekerja 7 hari seminggu dan 12 jam per hari. Tanpa tanpa libur selama 1,5 tahun.  Buahnya vaksin Oxford-AstraZeneca ini sudah disetujui di 178 negara dan diproduksi sebanyak 700 juta dosis. Ada puluhan ribu nyawa diselamatkan. Dan Carina turut andil di dalamnya.

"Vaksin seperti Astra Zeneca, tentu bisa kita buat kalau kita mau. Cuma ketimbang memproduksi, bangsa kita lebih senang mengimpor, dengan berbagai alasannya. Kita kurang menghargai produk dalam negeri. 

Secara individual kita kuat, namun secara kelembagaan, kita masih lemah. Karena kita kurang menghargai riset, teknologi dan inovasi," tegas Sekretaris Kemenristek era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. 

Menurut Mulyanto, ristek masih dianggap anak tiri, baik dari aspek anggaran, kelembagaan maupun dukungan ekosistem lainnya. Bahkan secara politik, Pemerintah seperti tidak punya kehendak bagi pengembangan Iptek.

Jadi, kata Mulyanto, jangan heran kalau Kementerian Riset dan Teknologi dibubarkan. Lalu lembaga riset prestisius seperti BATAN, LAPAN, BPPT dan LIPI dibubarkan dan unsur-unsurnya dilebur kedalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).

"Politisasi Ristek terlalu kental. Rencananya BRIN akan memiliki Ketua Dewan Pengarah secara ex-officio dari dewan pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

Belum lagi dari aspek kebijakan. Tidak jelas mana lembaga perumus dan penetap kebijakan Ristek di Indonesia. Terjadi dualisme matahari kembar antara BRIN dan Kemendikbud-Ristek," imbuh doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology ini. 

Mulyanto yakin kalau Pemerintah komitmen untuk mengembangkan Ristek sebagaimana mestinya banyak hal yang dapat dihasilkan. Termasuk pengadaan vaksin untuk penanggulangan Covid-19. 

"Kalau kita sungguh-sungguh mengembangkan vaksin Merah Putih, tidak usah dipanggil pun Rudiansyah akan pulang, begitu juga Carina dan banyak ahli diaspora kita di I4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) yang bersedia pulang," jelas politisi senior PKS ini.