UNICEF dan Akatara JSA Fasilitasi Anak Jatim Suarakan Keinginan di Masa Pandemi

MUS • Thursday, 19 Aug 2021 - 18:55 WIB

Surabaya - Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir 18 bulan (sejak Maret 2020) membuat hak-hak anak terabaikan. Misalnya hak pendidikan, hak partisipasi, hak bermain dan banyak hak-hak anak seperti amanat Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun /2002. 

UNICEF (United Nation Children's Fund) bersama Akatara JSA mencoba mengangkat ke permukaan masalah pemenuhan hak anak di masa pandemi.

Anak-anak difasilitasi untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan selama pandemi. Termasuk apa yang mereka ingin katakan dan usulkan kepada para orang dewasa dan pemerintah.

Wadah mencurahkan isi hati dan pikiran anak-anak ini dikemas dalam bentuk berkumpul sambil bermain. 

Nama acaranya Mendengar dan Menjawab Suara Anak (MMSA) 2021. Even dilaksanakan Kamis 19 Agustus 2021 pukul 09.00 WIB secara daring (online).

Ada empat kepala daerah di Jawa Timur yang dihadirkan untuk mendengar curahan hati dan pikiran anak-anak. Mereka adalah Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Bupati Pamekasan Badrut Tamam, dan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. 

"Kegiatan Mendengar dan Menjawab Suara Anak merupakan cara kita memberikan anak-anak kesempatan untuk mengekspresikan perasaan maupun pengalaman mereka selama situasi pandemi ini," ungkap Ermi Ndoen, Kepala Kantor Perwakilan Unicef Surabaya ketika memberikan sambutan singkat. 

Peserta dari anak-anak sedikitnya berjumlah 36 anak dari jenjang SD, SMP dan SMA sederajat. Ada dua anak difabel yang turut ambil bagian. Semua anak itu mewakili Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Banyuwangi dan Kota Surabaya.

Secara umum, anak-anak yang ambil bagian mengeluhkan kebosanan dalam belajar online. Juga mereka mengeluhkan sulitnya menerima pelajaran ketika belajar online. Terutama bagi anak-anak penyandang tunanetra yang sulit menerima materi via dokumen atau PDF. 

Bahkan, Aryo, seorang siswa SD dari Bangkalan mengaku dia kesulitan karena gurunya lebih banyak memberikan tugas dibanding mengajar. 

"Pak Bu, kami minta tolong agar guru-guru kami selalu diingatkan untuk memantau pelajaran, jangan hanya memberi tugas saja," keluh Aryo dengan lantang. 

Ada pula suara anak tentang hambatan fasilitas dan jaringan internet untuk  belajar online. Juga tidak adanya lokasi bermain anak ketika pandemi, pernikahan anak ketika pandemi dan kekerasan seksual terhadap anak. 

Dalam acara itu, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak diwakili Dr. Andriyanto, selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur (DP3AK). 

Andriyanto menilai anak-anak menunjukkan sebuah kegalauan, kegelisahan, dan sedikit stres dengan kondisi pandemi dan pembelajaran daring.  

Ia menjadi ingat saat kecil bahwa ada kegembiraan ketika naik kelas, dapat hadiah atau punya sepatu baru. Tetapi kini anak-anak tidak lagi merasakan.

Menurutnya interaksi dengan guru itu penting. Yakni dengan mendengar, tertawa ketika guru bercerita, itu senang sekali. Menurutnya data dari Kementerian PPA RI, menunjukkan hanya 36 persen atau 3 dari 10 anak yang didampingi orang tua dalam belajar daring. 

"Untuk itu, curhatan dari adik-adik kami mendengar, jangan khawatir," janji Andriyanto. 

Menurutnya kondisi ini memang menyesakkan. Di Surabaya saja ada 1.600 an anak yang mendadak yatim atau piatu. Mereka ditingal orang tuanya karea pandemi.

 "Ini membuat kita semua prihatin," ungkapnya.

Selain Andriyanto, hadir pula Kepala Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Suhartatik. Lalu Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani diwakili oleh Plt. Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan Anak & KB Kabupaten Banyuwangi, Henik Setyorini. 

Acara Mendengar dan Menjawab Suara Anak (MMSA) 2021 benar-benar diperuntukkan bagi anak-anak. Untuk itulah dalam konsepnya, para kepala daerah atau pejabat tidak memberikan paparan atau pidato. Mereka lebih banyak mendengar dan mencatat apa yang dirasakan anak-anak ini. Lalu, para kepala daerah menanggapinya sebagai respon atas suara anak.

Anak-anak juga menunjukkan kreasi mereka dalam menyuarakan isi pikiran dan isi hati mereka. 

Kemasan kreatif khas anak-anak membuat suasana lebih semarak dan gembira, tanpa melupakan etika dan kesopanan.  
Anak-anak telah melakukan persiapan untuk mengemas penyampaian suara mereka secara kreatif semenjak 7 Agustus 2021. Mereka menyusun beragam sesi dan tahapan, termasuk tema yang mereka sampaikan.

Dari seluruh rangkaian curahan hati dan pikiran manusia berusia di bawah 18 tahun ini, diharapkan para kepala daerah bisa menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam kebijakan menyangkut hak anak, terutama dimasa pandemi. (Her)