Kebocoran Data Meningkat, DPR RI Pertanyakan Sistem Keamanan Data di Indonesia

AKM • Wednesday, 1 Sep 2021 - 10:58 WIB

Jakarta - Kasus-kasus kebocoran data yang terjadi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Persoalan keamanan data di Indonesia pun dipertanyakan ditambah dengan keocoran data  terbaru dari Aplikasi Aplikasi electronic-Health Alert Card (eHAC) yang dimiliki kemenkes

Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Iqbal  mempertanyakan banyaknya kebocoran data dam lemahnya perlindungan terhadap data masyarakat oleh negara.

"Saya jadi khawatir, ada persoalan apa ini,  bagaimana sistem keamanan data di Indonesia," ujar Iqbal dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk 'Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi' di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta  Selasa (31/8/21).

Iqbal mencontohkan, pada tahun 2020, terjadi kebocoran data sekitar 230 data pasien Covid-19, kemudian terjadi kebocoran data 91 juta data akun Tokopedia, 13 juta akun bukalapak dan masih banyak lagi kebocoran data yang lainnya.

Kemudian, di tahun 2021 yang baru-baru ini terjadi kebocoran data 2 juta data nasabah BRI Life beserta dokumen penting yang berhasil dicuri oleh hacker dan isunya akan diperjualbelikan, belum lagi data BPJS.

"Jadi apa yang terjadi di Indonesia saat ini, kalau boleh saya katakan, Indonesia saat ini krisis perlindungan data pribadi," ujar Politikus PPP ini.

"Kemudian kalau boleh saya gambarkan, bahwa penyimpanan data cukup lemah di Indonesia," tambahnya.

Yang jadi pertanyaaannya, kata dia, bagaimana ke depannya agar data-data yang ada di suatu perusahaan, baik swasta ataupun pemerintah atau lembaga lainnya itu tidak dicuri dan diperjualbelikan, karena itu berbahaya.

"Jika data kita berhasil diambil oleh  hacker, kemudian dijual di dunia maya, bisa saja data kita diambil dan diperjualbelikan, kemudian satu dari kita menjadi korbannya," ungkapnya.

"Misalnya korban perbankan, kita tidak tahu apa-apa tiba-tiba datang tagihan, inilah era digitalisasi, kejahatan begitu ekstrim, oleh karena itu apa yang harus dilakukan ke depannya," sambungnya.

Karenanya, dia mendorong agar pemerintah dan DPR dapat segera membahas dan mengesahak RUU menjadi UU tentang perlindungan data pribadi. Langkah ini alam membuat adanya dasar hukum dan sanksi tegas terkait dugaan penyimpangan data masyarakat.

“ RUU perlindungan data pribadi aangat mendesak untuk disyahkan yang memungkinkan hadirnya lembaga baru yang dapat khusus mengawasi aan memprises secara hukum dugaan pelanggaran atau pencurian dara pribadi masyarkat,” jelasnya.

M Iqbal menuturkan sejauh ini sebagian besar fraksi di komisii I DPR menginginkan hadirnya lembaga baru yang mandiri dan independent tidak berada di kominfo.

“ Hal ini mengingat UU harus berpikir kedepan, sehingga jika ada anggaran yang besar bukan bearti akan digunakan pada saat ini. Kita berharap pandemi covid 19 berlalu, dan fokus anggaran bisa dialokasikan untuk lembaga baru ini juga,”  tegasnya.

Namun untuk saat ini, sebelumnya terbentuknya UU perlindungan data pribadi, menurut Iqbal/ Kominfo harus melakukan penguatan penyimpanan data terhadap perusahaan-perusahaan yang ada di indonesia, baik perusahaan swasta, pemerintah ataupun lembaga-lembaga lainnya.

"Hal yang dilakukan seperti peningkatan sumber daya manusia (SDM), modernisasi alat pendukung dan penyimpannya. Ke depannya perlu ada koordinasi yang terpadu antara Kominfo dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Cyber Crime Polri,” pungkasnya.