Legislasi Industri Hasil Tembakau, Prof Hikmahanto: Indonesia Punya Kedaulatan Tidak Perlu Intervensi

FAZ • Thursday, 9 Sep 2021 - 16:14 WIB

Jakarta - Industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia sudah menjadi warisan turun-temurun bangsa Indonesia, sehingga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tembakau. Pakar hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana menegaskan, Indonesia punya kedaulatan termasuk untuk mengatur IHT.

“Yang jadi permasalahan, beberapa tahun terakhir ada 3 hal yang mencoba untuk masuk ke dalam industri hasil tembakau di Indonesia,” ungkap Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani tersebut.

Beberapa hal yang mencoba untuk mendesak pemerintah adalah perjanjian internasional, yang akan membawa Indonesia melakukan tata niaga terhadap tembakau secara mendunia, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). 

“FCTC Dikeluarkan oleh WHO, kita mendukung bahwa kesehatan merupakan hal yang penting, tetapi tidak fair kalau industri hasil tembakau hanya dilihat dari sisi kesehatan,” ucap Prof Hikmahanto.

Hasil tembakau di Indonesia bukan hanya berjalan pada bidang kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi. Jika hal ini terjadi, sangat dikhawatirkan Indonesia akan bergantung terhadap supply tembakau dari luar negeri, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya tembakau melimpah dan perokok aktif Indonesia yang banyak.

“Saat ini pemerintah sudah memiliki peraturan yang tertulis dalam PP 109 / 2012, yang mengatur cara menyeimbangkan antara berbagai kepentingan, industri rokok, kesehatan, dan ekonomi,” kata Hikmahanto.

Menurutnya, non-Governmental organization (NGO) dinilai sangat pintar untuk menghubungkan masalah tembakau ke dalam masalah kesehatan. NGO minta revisi terhadap peraturan yang ada. Namun ternyata banyak negara besar yang ingin memangsa pasar perokok Indonesia, salah satunya adalah Amerika Serikat, yang disebutnya tidak ikut dalam FCTC tetapi turut mendorong keikutsertaan Indonesia.

“Pemerintah punya kedaulatan, tidak perlu di dorong pihakan manapun,” tegas Prof Hikmahanto.

Untuk saat ini pemerintah sudah memiliki regulasinya masing-masing, jika masyarakat tidak suka dengan regulasi tersebut, pemerintah dapat dihukum melalui pemilihan umum.

“Jangan sampai pemerintah merasa terdesak, merasa tersudutkan, sehingga melakukan revisi terhadap PP, dan ikut FCTC yang mungkin akan membuat penyelasan di kemudian hari,” tutup Prof Hikmahanto.