Arsul: Persoalan Lapas, Ibarat Kanker Sudah Stadium 4

AKM • Wednesday, 15 Sep 2021 - 15:10 WIB

Jakarta - Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)  di Indonesia terus mendapat sorotan terutama pasca kebakaran Lapas Tangerangan yang menewaskan sekitar 43?Napi. Bukan hanya terkait over kapasitas namun juga berkaitan minimnya sarana dan prasarana.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani menyatakan Keberadaan sarana dan prasarana (sarpras) Lapas yang ada di Tanah Air, yang tidak layak huni, karena minimnya anggaran yang dialokasikan. 

“Bahkan, persoalan Lapas ini adalah persoalan yang sudah sangat lama, bukan baru-baru ini saja. Ibarat penyakit sudah akut, sudah stadium empat kalau kanker, jadi memang keadaannya berat,” kata Arsul, dalam diskusi Forum Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/9/2021).

Arsul yang juga Wakil Ketua MPR RI ini mengatakan, persoalan Lapas ini tidak hanya bisa diselesaikan dengan Undang-Undang (UU), tetapi harus dengan pendekatan sistemik. Pendekatan sistemik, artinya pendekatan yang berbasis teori sistem.

Pertama adalah aturannya, regulasi, substansi hukumnya, yang ppernah dibahas di periode lalu, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU tentang Penggantian Atas UU Pemasyarakatan, dari UU Tahun 1996 itu.

Kedua, apa yang harus dibenahi struktur hukumnya yaitu kelembagaan Lapas itu sendiri. Ketiga yang harus dibenahi menurut teori sistem hukum yaitu budaya hukumnya.

“Saya mau balik dari budaya penegakan hukum kita. Budaya penegakan hukum kita itu belum murni dan konsekuen sesuai dengan politik hukum yang sudah kita letakkan. Kita sama-sama tahu, bahwa penghuni lapas yang kita sebut sebagai warga binaan pemasyarakatan itu, yang sudah over kapasitas ada yang lepas itu over kapasitasnya nggak tanggung-tanggung 800%,” katanya.

Bahkan, Arsul mengungkapkan pernah ke Lapas Banjarmasin Klas 2A, dimana warga binaan nya tidur itu bergantian, dan itu pun masih harus pakai gantungan. Dan, bukan rahasia lagi bahwa separuh penghuni lapas berasal dari terpidana kasus narkoba dan dari yang terpidana kasus narkoba yang angka paling tidak dikisaran 50%, dan itu adalah penyalahguna murni (bukan pengedar atau bandar).

Padahal, dalam UU Narkotika sudah tegas menyatakan, bahwa kalau yang namanya pengguna atau penyalahguna murni itu, diproses hukum tapi ujungnya adalah sudah jelas harus rehabilitasi. Tetapi sayangnya, penegak hukum belum melaksanakan ini secara murni dan konsekuen dan konsisten.

“Apalagi yang di daerah-daerah. Hanya pengguna, tapi tetap diproses hukum, sampai-sampai ada juga yang bersu’udzzon, kalau bisa nge-deal ya rehabilitasi, kalau nggak ya jalan terus,” bebernya.

Bahkan, Arsul pernah mengungkapkan ini di dalam rapat kerja (Raker), baik dengan Polri periode lalu maupun dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), dimana yang sampaikan saat itu terkait Pasal 127 UU Narkotika yang tidak diterapkan sebagai sebuah politik hukum oleh para penegak hukum, dengan murni dan konsekuen.

“Inilah sebetulnya sumber utama. Tahu juga kita, karena kasus nakotika, teman-teman bisa bayangkan kalau penegakan hukum kita sesuai dengan politik hukum kita di narkotika,” katanya.

Arsul menuturkan penegakan hukum harus sesuai politik hukum yang ada guna mengurangi over kapasitasdi lapas hingga 15 %.

“Jika penegakannya sesuai dengan politik hukum yang ada, maka over kapasitasnya tidak terjadi, dan bahkan ini akan sangat banyak bisa dikurangi perseoalan tersebut sampai 10 hingga 15% atau paling tinggi-tingginya 20%,” pungkas Arsul