Ribuan Orang Positif Covid-19 Berkeliaran, Prof Tjandra: Perbaiki Teknik Surveilans

MUS • Wednesday, 15 Sep 2021 - 15:30 WIB

Jakarta - Sekolah Pasca Sarjana Universitas YARSI menyelenggarakan "Kuliah Pakar Peran Biomedis di Era dan Pasca Pandemi” Rabu (15/9/2021)  Pada pembukaan acara, Ketua Yayasan Yarsi, Prof Jurnalis Udin dan Prof Fasli Jalal selaku Rektor Universitas Yarsi menekankan pentingnya ilmu Biomedis dalam kancah kesehatan dan kedokteran saat ini dan masa datang, baik di Indonesia maupun dunia. 

Juga disampaikan bagaimana Universitas Yarsi sejak awal memberi prioritas penting untuk pengembangan keilmian Biomedis, dari kacamata pendidikan melalui program studi magister dan sedang berproses untuk program studi S3 Biomedis, serta merencanakan program studi S1 Biomedis, di bidang penelitian dengan berbagai pusat penelitian seperti; herbal, halal, telomere, stemsel, anti aging, human genomic, stress oksidatif dan e-health, serta dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat berupa karya nyata. 

Ketua Prodi Magister Sain Biomedis, Dr Ndaru Andri memastikan fasilitas, staf pengajar dan suasana belajar bagi mahasiswa Biomedis di Universitas YARSI sangat mumpuni. 
 
Sementara Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama dalam paparannya tentang "Quo Vadiz COVID-19" menyebutkan, perkembangan informasi tentang asal mula COVID-19, selain kejadian di pasar kota Wuhan, juga ada pernyataan bahwa kemungkinan (belum terkonfirmasi) ada petugas laboratorium yang pernah kontak dengan sejenis kelelawar. 

"Dunia pada dasarnya tidak siap menghadapi pandemi COVID-19, padahal 10 tahun sebelumnya di tahun 2011 sudah disampaikan juga bahwa dunia tidak siap menghadapi krisis kesehatan yang waktu itu adalah pandemi H1N1," kata Tjandra Yoga. 

Ia menekankan perlunya pengembangan teknik surveilans dan penelusuran kasus dengan baik. Apalagi dengan informasi ada lebih 3.000 orang yang positif COVID-19 tapi ternyata masih berkeliaran. 

Dalam diskusi tersebut Tjandra juga mengungkapkan, perkembangan penelitian untuk menemukan obat COVID-19. "Perkembangan obat untuk COVID-19, ada penelitian Solidarity plus WHO untuk 3 kemungkinan obat, artesunate, imatinib dan infliximab," ujarnya. Sementara untuk vaksin COVID-19, ada kemungkinan vaksin yang tidak disuntik di masa depan. 

Lebih lanjut Tjandra menilai penanganan pandemi di Indonesia sejauh ini sudah membuahkan hasil menggembirakan, bahkan diakui di tingkat internasional. 

Indonesia dalam beberapa “ranking” organisasi internasional, seperti Nikei COVID-19 recovery index berada di peringkat 92 dari sebelumnya 114. Sedangkan dalam Bloomberg The Best and Worst Places to be as Reopening, peringkat Indonesia juga naik dari 53 ke 51.

"Serta informasi dari John Hopkins University yang di satu sisi menyampaikan pujian karena kasus kita turun 58% weekly (one of the best in the world) namun di sisi lain menyajikan data case fatality tate Indonesia di angka 3,3%, nomor 3 tertinggi di dunia, sesudah Meksiko (7,6%) dan Myanmar (3,8%)," tukas Tjandra.