BPKN Hargai Putusan MK Tegaskan Tidak Boleh ada Penyitaan Unit Kendaran Jaminan Tanpa Proses Pengadilan

FAZ • Monday, 27 Sep 2021 - 07:06 WIB

Jakarta - Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 terkait penyitaan unit kendaraan jaminan fidusia sempat membuat heboh publik, terutama yang tengah menghadapi dan terdampak pandemi, betapa tidak karena bagi beberapa kalangan Lembaga/perusahaan pembiayaan menganggap bahwa Putusan MK itu menetapkan penarikan barang leasing tidak lagi harus melalui pengadilan dan pengadilan hanya sebagai alternatif.

Keterangan dalam Media dengan judul dan isi yang mengutip beberapa bagian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sejatinya harus dipahami secara utuh oleh publik, sehingga tidak terjebak pada asumsi yang menyimpang dari Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Dengan kata lain, pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui Pengadilan Negeri (PN) hanya alternatif dan bukan kewajiban. Dengan demikian kebijakan mengenai relaksasi kredit pun dianggap tidak lagi berlaku.

Ketua BPKN-RI Rizal E Halim menyampaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU/XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021, sudah tepat dalam memberikan kepastian hukum, serta menempatkan kedudukan hukum yang seimbang antara Kreditur (Pelaku Usaha) dan Debitur (Konsumen), oleh karenanya wajib untuk ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak (erga omnes) sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku tentang eksekusi terhadap benda sebagai objek jaminan fidusia.

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia memang merupakan alternatif pilihan, sepanjang Debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda sebagai objek dari jaminan fidusia. “Artinya, apabila tidak ada kesepakatan mengenai cidera janji (wanprestasi) dan Debitur keberatan atas menyerahkan secara sukarela benda sebagai objek dari jaminan fidusia, Kreditur wajib melaksanakan eksekusi jaminan fidusia melalui penetapan PN “ Ujar Rizal.

“Putusan ini sejalan pula dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan kepada debt collector atau penagih utang perusahaan pembiayaan untuk mengikuti sejumlah ketentuan dalam proses penagihan kepada konsumen, seperti membawa dokumen2 yaitu kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Firman Turmantara menandaskan, perusahaan pembiayaan wajib mengirim surat peringatan terlebih dahulu kepada konsumen terkait kondisi kolektabilitas yang sudah macet. Debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan.

Penagihan juga mestinya dilakukan dengan menghindari tekanan-tekanan bersifat fisik atau verbal.

Ditambahkannya, ketentuan lain, penagih harus memperlihatkan Perjanjian antara perusahaan debt collector dengan Lembaga Pembiayaan dan dalam eksekusinya harus didampingi petugas kepolisian sesuai Perkap Nomor 8 Tahun 2011 tentang Eksekusi kendaraan/unit jaminan fidusia. Menurut Firman, selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector atau penagih utang.

Cara penarikannya pun seringkali dilakukan sewenang-wenang. Misalnya, debt collector melakukan langsung kepada konsumen di mana pun, kapan pun, seperti banyak kasus yang terjadi selama ini.

“BPKN-RI menilai Ketentuan MK ini sudah tepat, yakni demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan konsumen serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Oleh karena itu, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi itu harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” tutup Firman.