Pierre Tendean, Letnan Muda Pengabdi Negara

MUS • Friday, 1 Oct 2021 - 11:17 WIB

Jakarta - Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965, telah memakan banyak korban jiwa. Salah satunya Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Tendean, yang merupakan seorang perwira militer Indonesia.

Dalam wawancaranya dengan Radio MNC Trijaya dalam program Trijaya Hot Topic Petang, Abie Besman selaku Peneliti Komunikasi Politik Komunisme UNPAD dan Editor Biografi Pierre Tendean, menceritakan beberapa hal mengesankan dari Pierre Tendean.

“Negara yang hebat punya sejarah yang kuat, kita sudah melewati masa pengotak-ngotakan. Sekarang Indonesia sudah berubah,” kata Abie, Kamis (30/9/2021)

Generasi muda harus peduli terhadap sejarah yang ada. Sayangnya Abie merasa saat ini sudah ada gap antar generasi. Generasi yang atas sudah tidak membahas karena takut, sedangkan generasi muda yang cuek terhadap sejarah.

“Saya tertarik dengan Pierre Tendean karena dia satu-satunya Letnan yang berada dalam lubang buaya. Namun sayang literatur tentang Pierre masih sangat kurang,” ucap Abie.

BACA JUGA: Hormati Pahlawan Revolusi, Kemhan Imbau Kibarkan Bendera Setengah Tiang

Dalam penulisan buku ini dilakukan riset selama 2 tahun, tidak hanya riset melainkan dilakukan book trail, people trail serta web trail. Setiap data yang didapatkan juga dilakukan konfirmasi. Sempat ada liputan yang dilakukan oleh Abie, dan kemudian diunggah ke YouTube yang membuat keluarga dari Pierre dapat melihat video ini dan mulai berbagi cerita.

“Kita mulai berkomunikasi, sharing, mulailah cerita tentang personality Pierre Tendean. Baju-bajunya masih di simpan, ini merupakan harta bagi saya,” sambung Abie.

Pierre Tendean merupakan seorang letnan yang lahir di Batavia dan dikenal sebagai orang bule berdarah Sulawesi tetapi berbahasa medok. Di mata Abie, Pierre merupakan sosok generasi muda yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi selain itu ia juga merupakan orang yang cerdas. Orang tua Pierre ingin ia menjadi dokter, tetapi hal itu ditentang Pierre karena ia ingin menjadi tentara.

“Pierre muda sejak awal memang ingin mengabdi kepada negara. Pierre mau jadi tentara karena keluarganya sudah dapat banyak dari negara sekarang saatnya ia berbakti,” tutur Abie.

Dalam pengabdiannya kepada negara, Pierre dipromosikan menjadi Letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Faktanya, menjadi ajudan bukanlah keinginan Pierre, karena ia ingin berada di garis terdepan. 

Karena pengabdiannya kepada Negara, Pierre telah menjadi tameng untuk pak Nas. Pada peristiwa 30 Septeber 1965, pak Nas menjadi incaran utama. Tapi Pierre menjadi yang paling terdepan melindungi keluarga Nasution sehingga ia diikat dan dimasukkan ke mobil hingga jasadnya ditemukan dalam lubang buaya menggunakan jaket yang kembar dengan kakaknya.

“Ibunya menunggu Pierre di depan rumah, sampai akhirnya 4 Oktober di umumkan di RRI, 7 orang ditemukan di lubang buaya. Saat disebut letnan 1, kelurganya berpikir kok Pierre Tendean disebut tapi korpsnya beda. Kayaknya kita harus siap-siap dan kemungkinan jelek,” jelas Abie.

Karakternya yang tidak pernah membeda-bedakan orang, mencintai keluarga serta berani berkorban dan mengabdi kepada negara seharusnya dapat dicontoh oleh generasi muda sekarang. Dimana ada rasa nasionalisme yang lahir dari hati.

“Ini menarik, kita terlalu banyak di polarisasi saya benar kamu salah, Pierre tidak seperti itu sejak awal, dia sibuk kepada dirinya sendiri apa yang bisa saya sumbangkan kepada negara. Jadi karakter atau spirit seperti itu, spirit membangun, dia adalah orang yang mencintai negaranya, harus ada mindset jangan berpikir gue dapaat apa, tapi apa yang dapat gue kasih berikan yaag terbaik,” tutup Abie. (GRA)