PPN Naik Menjadi 11% Tahun Depan, Berikut Kata Peneliti

FAZ • Friday, 8 Oct 2021 - 14:23 WIB

Jakarta - Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik menjadi 11% tahun depan.

Menanggapi hal tersebut, Bhima Yudhistira, peneliti dari institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyampaikan pendapatnya kepada Radio MNC Trijaya, dalam program Trijaya Hot Topic Pagi, Jumat (08/10/2021). Bhima menyampaikan, ada beberapa isi yang berubah dari RUU KUP antara lain, perubahan pengenaan PPN untuk sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, yang ditarik dalam HPP. Bhima juga mengatakan sempat terjadi perdebatan yang cukup serius terkait tax amnesty, apalagi pada jilid kedua terkait pajak karbon.

“Tarif PPN naik dari 10 menjadi 11%, kemudian akan menjadi 12%, ini yang sedang dilihat dampak dari PPN terhadap daya beli masyarakat, jangan sampai masuk kantong kiri keluar kanan, berharap ada terima pajak dari PPN naik, tapi justru karena PPN naik membuat konsumsinya turun. Jangan sektor lain akan berdampak, klo ada naik PPN produksi akan disesuaikan, ini kan akhir nya memberikan pengaruh kepada pajak,” jelas Bhima.

Pemerintah merupakan pihak yang diuntungkan terkait kenaikkan pajak ini, akan tetapi hal itu dikarenakan butuh biaya untuk pendanaan di 2022 yang semakin lebih besar. Pengolahan mineral dan batubara dapat menjadi ladang yang subur untuk investasi jika tax amnesty berjalan dengan baik. Namun disisi lain, kenaikkan ini juga dilihat sebagai urgensi karena keterdesakan waktu yang ada. Oleh sebab itu Bhima pernah menyampaikan kepada DPR untuk diberikan waktu lebih panjang dalam pembahasan ini.

“Ini kan ada urgensi, karena keterdesakan waktu, target 2023, defisit APBN harus dibawah 3% ini bukan perkara mudah sekarang defisit masih 5-6%. Kasih perpanjangan waktu aja, DPR jangan buru-buru, jangan hanya undang pakar tetapi juga masyarakat,” ungkap Bhima.

Perekonomian di Indonesia sedang dalam tahap pemulihan, tetapi pemulihannya belum merata. Masih ada waktu untuk dapat melakukan penyesuaian. Jika PPN ini berjalan dengan baik akan ada inflasi yang bagus untuk kebijakkan pemerintah, disisi lain pemerintah juga harus bersiap jika ini tidak sesuai dengan perkiraan awalnya. Pemerintah dapat memanfaatkan momentum natal dan tahun baru, dimana semua orang berbelanja.

“Dari sisi tantangan semakin kompleks, ada krisis energi yang terjadi di China, Rropa, di satu sisi diuntungkan, karena ekspor batu bara, dari sisi minyaknya kita kan import, saya lagi menghitung kapan ada penyisihan BBM Non Subsidi dan beberapa barang energi. Harga energi global mengalami kenaikan, kita punya resiko penyesuaian moneter secara global dimulai dari negara maju seperti Amerika Serikat, karena akan ada resiko pelemahan nilai tukar rupiah. Setelah krisis pandemi, masuk ke dalam krisis energi global,” tutup Bhima (GRA).