Polemik Seputar Kenaikan Tarif PNBP Perikanan yang Memberatkan Nelayan

MUS • Thursday, 14 Oct 2021 - 08:46 WIB

Jakarta - Ketua Bidang Ketua Bidang Tani dan Nelayan DPP PKS, Riyono menanggapi seputar kenaikan tarif PNBP Perikanan yang dinilai memberatkan nelayan.

Menurut Riyono, sudah sepekan ini dunia perikanan di tanah air diramaikan dengan berita naiknya tarif PNBP, bahkan dibeberapa kota di Pantura Jawa sudah melakukan demonstrasi. 

"Polemik tentang PNBP Perikanan ini, sebetulnya dilandasi oleh target kementrian perikanan yang ingin meningkatan pendapatan negara dari sektor perikanan dari  600M menjadi 12T di tahun 2024," ungkap Riyono.

Untuk mendukung target tersebut, imbuhnya, Pemerintah mengeluarkan Kepmen no 86 tahun 2021 dan PP no 85 tahun 2021. 

"Di dalam Kepmen no 86 tersebut pemerintah mengatur harga pokok ikan (HPI) baru sehingga tarif PNBP meningkat. Rumus perhitungan tarif PNBP kapal tangkap ikan : produktifitas kapal x HPI x GT kapal. Pelaku usaha dan nelayan keberatan dengan HPI yang ditetapkan oleh pemerintah lewat kepmen 86 tahun 2021 tersebut karena angkanya terlalu tinggi," urainya.

Beberapa masukan dari PKS untuk Kementrian Kelautan dan Perikanan agar tidak menimbulkan gejolak saat menerapkan aturan baru.

"Pertama, Pemerintah melakukan sosialisasi yang lebih masih kepada pelaku usaha dan nelayan sebelum tarif baru tersebut berlaku sehingga tidak terjadi penolakan dimana-mana. Ajak diskusi pelaku usaha dan nelayan untuk membicarakan tentang HPI," tegas Riyono.

Kedua, imbuh Riyono, melakukan kajian yang mendalam tentang kondisi usaha yang sedang terjadi apakah usaha sedang bagus atau sebaliknya. 

"Seperti yang terjadi sepekan ini akibat pemerintah menaikkan tarif PNBP saat kondisi usaha sedang lesu.Ini sangat membebani nelayan.  Berdasarkan keterangan dan informasi dari pelaku usaha dan nelayan , kondisi usah tangkap ikan sedang lesu karena harga ikan baik lokal maupun ikan eksport sedang turun karen pandemi Covid-19," tandasnya.

Ketiga, kata Riyono, buat kebijakan yang pro terhadap nelayan. Berdasarkan data dari BPS 2019 bahwa lebih dari 10% nelayan masih hidup dibawah garis kemiskinan. 

"Ini pekerjaan berat bagi Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk membuat program-program yang bisa mengurangi angka kemiskinan pada kelompok nelayan, jadi jangan hanya fokus pada target PNBP tapi perlu diperhatikan seberapa besar angka kemiskinan bisa berkurang," ujarnya.

Keempat, lanjut Riyono, pada PP no 85 tahun 2021 diatur bahwa kapal ukuran 5GT ke atas di pungut tarif PNBP pasca panen 5%. Sebagian besar nelayan kecil yang ukuran kapalnya kurang dari 15GT pendapatannya dibawah UMK. 

"Mohon dikaji ulang apakah mereka layak untuk dipungut tarif PNBP pasca panen ?," ujarnya.

Kelima, imbuhnya, pihaknya mengapresiasi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang selama ini melindungi kekayaan laut dari pencurian kapal asing. 

"Kebijakan ini perlu dipertahankan dalam rangka menjaga kedaulatan laut dan melindungi nelayan lokal," tutup Riyono.