HARGA ROKOK NAIK UNTUK SIAPA?

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Dalam sepekan isu kenaikan harga rokok mencuat, dan mendapat berbagai tanggapan di masyarakat. Ada yang mendukung ada juga yang menolak, dengan sejumlah pertimbangan seperti nasib petani tembakau, buruh pekerja di industri rokok sampai masalah kesehatan serta pemasukan untuk negara.

Dari adanya bergulir isu yang makin melebar tentang rokok ini, nggota Komisi XI DPR M Misbakhun mengingatkan agar pemerintah bersikap hati-hati dalam membuat kebijakan soal rokok. Dengan menegaskan bahwa persoalan rokok jangan hanya dilihat dari sisi kesehatan saja.

"Perlu diperhatikan, rokok punya aspek dari sisi penerimaan negara. Sebanyak Rp 150 triliun penerimaan negara dari cukai, 98 persennya dari cukai rokok,” kata Misbakhun saat diskusi Polemik SindoTrijayaFM “Harga Rokok Naik untuk Siapa?” di Warung daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (27/8). 

Selain itu, ada pula aspek industri yang harus diperhatikan. Bahkan, di bawah industri rokok ada lagi petani tembakau, pedagang, perantara dan sebagainya. Mata rantai ini perlu diperhatikan pemerintah.

“Ini sebuah sirkulasi ekonomi dan bagian anak bangsa kita. Nah, kalau ambil kebijakan ini harus diperhatikan seperti aspek industri maupun ketenagakerjaan," kata bekas politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Misbakhun juga menegaskan, tidak pernah membantah dampak kesehatan dari merokok. Ia mengakui merokok memiliki dampak kesehatan. Namun, kata dia, jangan menjadikan alasan kesehatan untuk mematikan industri rokok, terutama yang menyangkut hajat hidup petani dan masyarakat.

Bahkan, ia tidak setuju, dengan ada pendapat yang secara terbuka menyuruh petani tembakau ganti profesi saja. “Tidak semudah membalik telapak tangan menyuruh orang ganti profesi.”

Misbakhun merupakan salah satu wakil rakyat yang menginisiasi Undang-undang Pertembakauan. Sebab, kata dia, sampai saat ini belum ada aturan selevel Undang-undang yang mengatur dan melindungi sisi petani tembakau. UU itu, kata dia, menginginkan petani tidak termarjinalkan saat industri rokok mengalami kenaikan keuntungan.

“Ini kan pada saat petani panen, harga turun. Kalau tidak panen harga tidak turun. Ini yang menikmati tengkulak dan sebagainya. Ini tidak boleh dan harus menjadi perhatian juga,” kata salah satu inisiator pansus hak angket Century di DPR periode lalu ini.

Sementara itu, Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Setyati Endang Nusantari, memberikan simulasi dari dampak yang akan terjadi di masyakat apabila tarif rokok dinaikkan.

Dia memberikan contoh dari dampak kenaikan dari harga jual rokok secara eceran. Apabila tarif dinaikkan, maka akan melemahkan daya beli masyarakat. "Kalau potensi konsumsi dengan harga yang mahal, maka akan melemahkan daya beli masyarakat. Sehingga konsumsinya akan turun. Dengan penurunan konsumsi, maka produksi juga menurun," ujar Setyati.

Apabila jumlah produksi menurun, menurut Setyati, akan berdampak pada tenaga kerja di industri tembakau. Nantinya akan terjadi efisiensi tenaga kerja, dari tenaga manusia yang beralih ke tenaga mesin.

"Kita akan lihat tenaga kerja. Dengan adanya penurunan produksi, pasti industri akan melihat efisiensi. Seperti tadi dikatakan 1 orang satu hari bisa melinting 5 ribu batang, itu untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT). Tapi untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) itu kapasitasnya 5 hingga 10 ribu menggunakan mesin per menit. Nanti itu akan ada pergeseran ke mesin pelinting, sehingga banyak SKT yang menurun," jelas Setyati.

Setelah terjadinya penurunan atau efisiensi tenaga kerja manusia, nantinya akan marak pertumbuhan rokok ilegal. Sayangnya, pendapatan mereka tak akan masuk ke kas negara.

"Kemudian kami sampaikan kenapa kita bilang ada rokok ilegal? Ada yang tidak berpita cukai, pita cukai palsu, pita cukai bekas pakai, hingga yang aspal. Itulah macam-macam rokok ilegal, dan nanti pasti akan marak dan pendapatannya tentu tidak masuk ke negara," kata dia.

Dampak dari kenaikan harga rokok di satu sisi memang mengurangi daya beli konsumen. Tapi di satu sisi juga merugikan beberapa pihak yang telah bermain di dalamnya sejak lama. Selain pelaku industri, para petani, menurut Setyati, juga akan mengalami dampaknya.

"(Kenaikan tarif) juga berdampak pada petani tembakau dan cengkah. Petani cengkeh itu 85 hingga 95 persen itu terserap ke industri rokok," ucapnya.Untuk diketahui industri rokok pada tahun 2010 itu sebanyak 2.600 unit. Namun mengalami penurunan tahun 2015 menjadi 600 unit dengan rata-rata penurunan 25,4 persen yang penurunan ini meliputi industri kecil dan menengah.

Peningkatan produksi rokok pada tahun 2010 sebanyak 292,75 miliar batang. Tahun 2014 sebanyak 352 miliar batang atau meningkat 5 persen, namun untuk skala besar dan menengah masih berproduksi. Tapi dengan regulasi yang dikenakan baik dari Kemenkeu, Kemenkes, peraturan pemerintah nomor 109, terjadi penurunan produksi tahun 2015 sebesar 348, 1 miliar batang, dengan presentase penurunan hingga 1,1 persen.

Menanggapi hal ini, pemerintah menyatakan tidak mau berandai-andai soal isu kenaikan harga rokok untuk meningkatkan penerimaan cukai negara. Kepala Sub Direktorat Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Cukai Kementerian Keuangan Sunaryo mengatakan pada prinsipnya dalam mengambil kebijakan harus kembali kepada Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai.

"Kalau ada pertanyaan harga rokok naik untuk siapa, kembali ke UU Cukai. Dalam UU Cukai itu ada dua hal, yakni pengendalian dan penerimaan. Dua fungsi ini kita emban, termasuk naikkan harga dan tarif,” kata Sunaryo saat diskusi “Harga Rokok Naik untuk Siapa?” di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (27/8) di Cikini, Jakarta Pusat.

Dia tidak menjawab angka ideal untuk harga rokok. Menurut dia, dalam membuat kebijakan, sesuai UU Cukai tetap memerhatikan aspek pengendalian dan tenaga kerja.

“Kita  hitung juga berapa dampaknya. Seperti dampak layout atau PHK, bagaimana dampak pengurangan jam kerja,” kata Sunaryo.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Anhari Achadi mengungkapkan, tujuan dari wacana kenaikan cukai rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp50 ribu per bungkus, bertujuan untuk menyelamatkan generasi muda dari berbagai macam penyakit.

Anhari menyebutkan, banyak penyakit yang disebabkan oleh rokok, seperti diabetes, serangan jantung, impotensi dan lainnya yang menyebabkan generasi muda ke depannya tidak lagi produktif dan tidak sehat.

"Merokok yang menyebabkan terganggunya kesehatan, saya ingin mengingatkan yang kita tuju bukan saat ini, tetapi masa yang akan datang, kalau tidak maka akan memiliki generasi yang sakit-sakitan, kita tidak memiliki penduduk yang produktif dan berkualitas, kita ingin generasi ke depan sehat, produktif dan bisa berperan pada pembangunan bangsa. Oleh karena itu masalah tembakau satu hal yang sangat memberikan efek negatif terhadap kesehatan," kata Anhari dalam acara Polemik Radio Sindotrijaya Network di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (27/8/2016).

Anhari melanjutkan, wacana kenaikan cukai rokok juga ditujukan lebih kepada mencegah para perokok pemula yang notabene masih berusia 20 tahun ke depan. "Ini bukan bicara 1-2 tahun, tapi kita berbicara 50 tahun ke depan," tambahnya.

Menurut Anhari, jika wacana kenaikan cukai rokok yang membuat harga menjadi Rp50 ribu per bungkus memberikan banyak manfaat, terutama bagi kesehatan dan tingkat produktivitas generasi muda saat ini.

"Kenaikan harga dan cukai itu instrumen, tetapi kita sadar kenaikkan itu tidak serta merta menyebabkan orang merokok, tetap yang addict masih merokok, dan kemasukan cukai itu tetap tinggi, kita harapkan generasi ke depan tidak merokok, itu messegge-nya," tandasnya.

Sementara itu, Center for Indonesia's Strategic Development Intiatives (CISDI) mendorong wacana kenaikan harga rokok berkisar Rp50 ribu segera ditetapkan oleh pemerintah. Dengan begitu diyakini dapat menyelamatkan generasi muda.

"Kita ingin melindungi dan memastikan bahwa generasi muda itu jadi generasi dan populasi yang berkualitas. Jadi kalau memang ada kebijakan pemerintah kami dukung," kata Ketua CISDI Diah Saminarsih, Sabtu (27/8).

Diah juga meyakini, dengan menaikkan harga rokok, dapat menekan rokok pemula. Namun kata dia, harus diimbangi penegakan hukum. Sebab, pemerintah melalui undang-undang telah membatasi penjualan rokok di bawah usia 18+.

"Ini yang kita harapkan, jangan cuman sekadar menaikkan saja, tapi penegakan hukum dalam pembatasan penjualan rokok juga harus ditegakkan," ujar Diah.

Pihaknya mencatat, saat ini dengan murahnya harga rokok, generasi muda menjadi tergiur untuk membelinya. Saat ini jumlah perokok di generasi muda meningkat drastis sejak lima tahun terakhir.

"Ini sudah mengkhawatirkan, naik lima kali dalam lima tahun terakhir. Kami mendorong akan upaya nyata membantu pemerintah menjaga populasi tetap sehat dan berkualitas," ucapnya.

Seperti diketahui, wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu/bungkus merupakan hasil survei dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia (UI). Dalam risetnya, sebanyak 46 persen perokok bakal berhenti merokok jika harganya dinaikkan sebesar 300 persen dari harga saat ini.

Dari survei juga diketahui bahwa 80,3 persen atau 976 responden mendukung kenaikan harga dan cukai rokok untuk membiayai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan diberikan karena anggaran JKN selalu defisit setiap tahunnya.

Survei sendiri dilakukan terhadap 1.000 orang pada Desember 2015 hingga Januari 2016. Survei untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang kenaikan harga maupun konsumsi rokok. Diketahui 41,3 persen responden mengonsumsi rokok satu hingga dua bungkus per hari dengan biaya Rp450 ribu hingga Rp600 ribu per bulan.

Dari adanya wacana kenaikan harga rokok jadi Rp 50 ribu, yang dianggap bisa menurunkan angka perokok. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) justru tidak setuju dengan pola pikir tersebut.

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan kenaikan cukai rokok tak dapat dikaitkan dengan daya beli masyarakat. Sebagai barang kena cukai, rokok bukanlah barang kebutuhan penting seperti halnya sembako.

"Kalau wacana kenaikan cukai sekalipun berapapun persennya itu sama sekali tidak benar kalau mempertimbangkan daya beli konsumen karena rokok tidak bisa dikaitkan dengan daya beli, ini bukan sembako. Ini adalah paradigma sesat pikir," ujar Tulus, Sabtu (27/8/2016).

Dalam kenaikan tarif dan cukai rokok, salah satu yang mendapat perhatian adalah para petani tembakau. Namun Tulus mengatakan, kondisi petani tembakau yang semakin hari diangga memprihatinkan bukan serta merta karena kenaikan tarif, melainkan kebijakan impor tembakau di Indonesia.

"Komponen yang merenggut hak tembakau salah satunya adalah impor, ini merusak tatanan dan hak petani tembakau. Jadi bukan regulasi,tapi dominannya impor tembakau di Indonesia," kata Tulus.

Apabila bicara cukai, selain tak mempertimbangkan daya beli, menurut Tulus dalam 10 tahun terakhir produksi rokok nasional meningkat. Tulus menilai apabila cukai memiliki dampak, seharusnya produksi rokok telah lama turun.

"Lalu apabila ada industri kecil yang gagal bukan karena regulasi pemerintah tapi karena mereka gagal bersaing dengan industri rokok besar. Kalau soal buruh, justru adanya PHK buruh bukan karena efek pengendalian konsumsi atau cukai dan lainnya," kata Tulus.

"Tapi karena adanya mekanisasi industri rokok besar berbondong-bondong mengalihkan buruhnya ke mesin. Karen mekanisasi jauh lebih efektif. Ini yang harus dilarang. Nah RUU pertembakauan melarang itu nggak?" jelas Tulus.